Halaman

Rabu, 24 September 2014

CERPEN

DEAR SNOW part II


Aku menyeka air mata yang mengalir di wajahku. Bermimpi mengenai masa lalu membuatku teringat dirinya. Sosok yang bisa membuat jantungku berdetak dengan kencang dan tersenyum dengan lebarnya. Sudah 2 tahun berlalu sejak kelulusan SMA, sekarang aku sedang kuliah di wilayah Tokyo. Yuki, orang yang sangat kucintai sejak SMA, kuliah di tempat yang berbeda. Tidak pernah sekalipun aku bertemu dengannya sampai saat ini. Terakhir bertemu ketika upacara kelulusan, dengan mengumpulkan keberanian, aku minta foto berdua dengannya. Selesai berfoto, Yuki tiba-tiba berkata,
                “Atsuki, aku sepertinya mau bekerja dulu.”
                “Eh! Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu.”
                “Aku akan pergi dari Tokyo, setelah puas bekerja, baru kuliah. Maaf ya!?”
                “Eh, kenapa minta maaf juga!? Dasar aneh!”
Yang aneh itu justru diriku yang tetap saja tidak bisa bicara terus terang padanya mengenai perasaanku. Selama ini Yuki hanya menganggap bercanda kata-kataku. Aku menatap lekat-lekat punggung Yuki yang berjalan pergi meninggalkan diriku. Kebodohanku tak berhenti sampai disitu, aku tak punya alamat emailnya, bahkan tidak bertanya dia akan bekerja di mana.

Sosok dirinya bagaikan salju, indah dipandang, jika aku menyentuhnya maka akan meleleh. Oleh karena itu aku tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya. Takut Yuki akan membenciku, dan menghilangkan keberadaan diriku dalam pikirannya. Bagiku hanya berada di dekatnya saja adalah merupakan suatu kebahagian.
Selama 2 tahun ini aku tidak mendengar kabarnya sama sekali. Kadang aku berpikir, apakah aku masih mencintainya. Tapi sampai saat ini belum ada laki-laki lain yang bisa membuatku jatuh cinta lagi. Aku hanya berharap semoga Yuki menjalani hidupnya dengan bahagia, begitu juga diriku. Saat ini hanya mengikuti arus jalan hidupku saat ini.
Tapi aku tidak mengerti mengapa hari ini jadi sangat teringat dirinya. Mungkin karena semalam aku bermimpi tentangnya. Hahaha, mungkin aku tidak diperbolehkan melupakan Yuki. Kalau seperti ini aku bisa depresi memikirkan dirinya. Lebih baik aku jalan-jalan  ke gunung saja, pikiran bisa lebih jernih.
Jalan-jalan ke gunung memang cara yang tepat menjernihkan pikiran. Setelah mendaki selama 2 jam akhirnya sampai ke puncak. Pemandangan dari atas gunung benar-benar luar biasa. Ternyata ada orang lain yang mendaki ke gunung hari ini. Aku menatap lekat-lekat orang tersebut. Tidak, tidak mungkin, ini pasti cuma bohong. Aku terpaku di tempat, jantungku berdetak dengan kencang, aku tidak berani menyebut namanya. Ah, dia menoleh padaku.
“Atsuki!? Kau mendaki gunung?”
Benar, benar, ini Yuki. Dia memanggil diriku, dan tetap saja tidak berubah, bertanya hal yang aneh. Aku tidak bisa membendung air mataku ini, perasaan rindu yang tertahan, ternyata aku masih mencintainya. Aku menangis dengan derasnya.
“Atsuki? Kenapa? Kakimu terkilir?”
                Yuki mendekatiku dengan wajah yang khawatir, dia memeriksa kakiku. Tidak berubah, Yuki memang baik sekali pada diriku yang seperti ini. Aku benar-benar mencintai orang ini,
                “Yuki, Yuki, Yuki” aku memanggilnya dengan terisak.
                “Ada apa? Mana yang sakit?”
                “Yuki, aku suka padamu. Sangat suka padamu. Suka, suka, suka.” aku mengungkapkan perasaanku sambil terus menangis dengan derasnya.
                “Suka!? Padaku!?”
                Yuki menyeka air mataku yang tidak berhenti mengalir.
                “Kalau kau suka padaku, kenapa kau menangis!? Apakah menyukaiku adalah sesuatu yang menyakitkan!? Aku minta maaf. Sekarang tersenyumlah, aku lebih senang saat kau bilang suka dengan wajah tersenyum. Yang membuatku berpikir bahwa ternyata aku  menyukaimu.”
                Mendengar kata-kata Yuki barusan membuatku kaget. Apa maksudnya?
                “Yuki?”
                “Aku minta maaf saat kelulusan karena tidak bisa menyatakan perasaanku. Aku berpikir kalau Atsuki akan hidup lebih baik jika tidak ada aku. Makanya aku pergi jauh. Tapi ternyata tidak bisa, selama 2 tahun ini isi kepalaku rasanya jadi berantakan. Setiap hari selalu teringat dirimu. Makanya aku kembali ke Tokyo. Tapi karena tidak tahu dimana kau tinggal, aku pergi ke puncak gunung. Siapa tahu bisa melihat dirimu dari atas puncak.”
                Aku tidak percaya Yuki suka padaku. Biarlah walaupun hanya mimpi.
                “Yuki, kau bodoh ya. Aku suka Yuki” kali ini aku mengungkapkannya dengan senyum.
                “Atsuki, maaf ya!”
                “Eh!? Maaf untuk apa?”
                Tiba-tiba Yuki mencium bibirku. Aku terbelalak kaget, tapi kemudian akupun memeluknya. Tentu saja aku memaafkannya.
Kami turun gunung sambil bergandengan tangan. Aku rasa dia sudah bukan salju lagi yang meleleh jika disentuh. Tapi merupakan bunga sakura di musim semi sebagai ganti salju di  musim dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar