DEAR SNOW part II
Aku menyeka air mata yang
mengalir di wajahku. Bermimpi mengenai masa lalu membuatku teringat dirinya.
Sosok yang bisa membuat jantungku berdetak dengan kencang dan tersenyum dengan
lebarnya. Sudah 2 tahun berlalu sejak kelulusan SMA, sekarang aku sedang kuliah
di wilayah Tokyo. Yuki, orang yang sangat kucintai sejak SMA, kuliah di tempat
yang berbeda. Tidak pernah sekalipun aku bertemu dengannya sampai saat ini.
Terakhir bertemu ketika upacara kelulusan, dengan mengumpulkan keberanian, aku
minta foto berdua dengannya. Selesai berfoto, Yuki tiba-tiba berkata,
“Atsuki,
aku sepertinya mau bekerja dulu.”
“Eh!
Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu.”
“Aku
akan pergi dari Tokyo, setelah puas bekerja, baru kuliah. Maaf ya!?”
“Eh,
kenapa minta maaf juga!? Dasar aneh!”
Yang aneh itu justru diriku yang tetap saja tidak bisa
bicara terus terang padanya mengenai perasaanku. Selama ini Yuki hanya
menganggap bercanda kata-kataku. Aku menatap lekat-lekat punggung Yuki yang
berjalan pergi meninggalkan diriku. Kebodohanku tak berhenti sampai disitu, aku
tak punya alamat emailnya, bahkan tidak bertanya dia akan bekerja di mana.
Sosok dirinya bagaikan salju,
indah dipandang, jika aku menyentuhnya maka akan meleleh. Oleh karena itu aku
tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya. Takut Yuki akan membenciku, dan
menghilangkan keberadaan diriku dalam pikirannya. Bagiku hanya berada di
dekatnya saja adalah merupakan suatu kebahagian.
Selama 2 tahun ini aku tidak
mendengar kabarnya sama sekali. Kadang aku berpikir, apakah aku masih
mencintainya. Tapi sampai saat ini belum ada laki-laki lain yang bisa membuatku
jatuh cinta lagi. Aku hanya berharap semoga Yuki menjalani hidupnya dengan
bahagia, begitu juga diriku. Saat ini hanya mengikuti arus jalan hidupku saat
ini.
Tapi aku tidak mengerti mengapa
hari ini jadi sangat teringat dirinya. Mungkin karena semalam aku bermimpi
tentangnya. Hahaha, mungkin aku tidak diperbolehkan melupakan Yuki. Kalau
seperti ini aku bisa depresi memikirkan dirinya. Lebih baik aku jalan-jalan ke gunung saja, pikiran bisa lebih jernih.
Jalan-jalan ke gunung memang cara
yang tepat menjernihkan pikiran. Setelah mendaki selama 2 jam akhirnya sampai
ke puncak. Pemandangan dari atas gunung benar-benar luar biasa. Ternyata ada
orang lain yang mendaki ke gunung hari ini. Aku menatap lekat-lekat orang
tersebut. Tidak, tidak mungkin, ini pasti cuma bohong. Aku terpaku di tempat,
jantungku berdetak dengan kencang, aku tidak berani menyebut namanya. Ah, dia
menoleh padaku.
“Atsuki!? Kau mendaki gunung?”
Benar, benar, ini Yuki. Dia
memanggil diriku, dan tetap saja tidak berubah, bertanya hal yang aneh. Aku
tidak bisa membendung air mataku ini, perasaan rindu yang tertahan, ternyata
aku masih mencintainya. Aku menangis dengan derasnya.
“Atsuki? Kenapa? Kakimu terkilir?”
Yuki
mendekatiku dengan wajah yang khawatir, dia memeriksa kakiku. Tidak berubah,
Yuki memang baik sekali pada diriku yang seperti ini. Aku benar-benar mencintai
orang ini,
“Yuki,
Yuki, Yuki” aku memanggilnya dengan terisak.
“Ada
apa? Mana yang sakit?”
“Yuki,
aku suka padamu. Sangat suka padamu. Suka, suka, suka.” aku mengungkapkan
perasaanku sambil terus menangis dengan derasnya.
“Suka!?
Padaku!?”
Yuki
menyeka air mataku yang tidak berhenti mengalir.
“Kalau
kau suka padaku, kenapa kau menangis!? Apakah menyukaiku adalah sesuatu yang
menyakitkan!? Aku minta maaf. Sekarang tersenyumlah, aku lebih senang saat kau
bilang suka dengan wajah tersenyum. Yang membuatku berpikir bahwa ternyata
aku menyukaimu.”
Mendengar
kata-kata Yuki barusan membuatku kaget. Apa maksudnya?
“Yuki?”
“Aku
minta maaf saat kelulusan karena tidak bisa menyatakan perasaanku. Aku berpikir
kalau Atsuki akan hidup lebih baik jika tidak ada aku. Makanya aku pergi jauh.
Tapi ternyata tidak bisa, selama 2 tahun ini isi kepalaku rasanya jadi
berantakan. Setiap hari selalu teringat dirimu. Makanya aku kembali ke Tokyo.
Tapi karena tidak tahu dimana kau tinggal, aku pergi ke puncak gunung. Siapa
tahu bisa melihat dirimu dari atas puncak.”
Aku
tidak percaya Yuki suka padaku. Biarlah walaupun hanya mimpi.
“Yuki,
kau bodoh ya. Aku suka Yuki” kali ini aku mengungkapkannya dengan senyum.
“Atsuki,
maaf ya!”
“Eh!?
Maaf untuk apa?”
Tiba-tiba
Yuki mencium bibirku. Aku terbelalak kaget, tapi kemudian akupun memeluknya.
Tentu saja aku memaafkannya.
Kami turun gunung sambil bergandengan tangan. Aku rasa dia
sudah bukan salju lagi yang meleleh jika disentuh. Tapi merupakan bunga sakura
di musim semi sebagai ganti salju di
musim dingin.