DEAR SNOW
Entah sejak kapan rasa suka ini
jadi semakin besar. Setiap kali ku memejamkan mata ini, bayangan wajahnya
selalu terlihat. Aku menyesal mengapa baru kusadari perasaan ini sekarang.
Potongan puzzle ingatan mulai ku susun kembali.
“Yuki, Yuki, Yukiiiiiiii!” aku memanggilnya dengan sekuat
tenaga.
“Hah! Ada apa? Apakah harus berkali-kali menyebut namaku!?”
berjalan malas ke arahku.
Yuki
Shota, laki-laki yang membuatku jatuh cinta. Kami satu kelas sejak tingkat 2 di
SMA. Aku tidak pernah menganggapnya spesial. Yah, dalam bentuk nyatanya memang
tidak ada sesuatu yang membuat dia menjadi spesial. Badannya tidak terlalu
tinggi, wajahnya juga tidak terlalu tampan, akademis juga tidak bisa dikatakan
cerdas, tidak terlalu banyak bicara, bisa dibilang orang yang biasa saja.
Tempat duduk kami pun terpisah sangat jauh. Ditambah lagi aku yang antisosial,
benar-benar tidak menimbulkan kesan. Tetapi hal itu sedikit berubah ketika di
tingkat 3 SMA. Tempat duduk kami berdekatan sehingga mulai terbentuk interaksi
antara kami berdua.
“Hahaha, aku hanya senang menyebut nama ‘Yuki’. Habisnya
nama itu artinya kan salju, dan aku sangat suka salju!” dengan gembira aku
menggodanya.
Dia menatapku dengan pandangan
kosong, dan mulai berbalik meninggalkanku. Akupun hanya tersenyum melihatnya
seperti itu. Sejak aku mengenalnya ternyata dia mempunyai karakter yang sangat
unik sehingga aku senang menggodanya. Yang membuatku tambah senang adalah Yuki
tetap memperlakukan ku seperti teman-teman yang lainnya. Mungkin kalau
laki-laki lain sudah sebal dengan kelakuanku yang seenaknya.
Aku tidak tahu apakah saat itu
aku menyukainya atau tidak. Mungkin bisa dikatakan naif, tetapi pikiranku saat
itu memang tertutup mengenai cinta. Aku merasakan pahitnya cinta yang
kekanak-kanakan. Hanya karena seseorang baik kepada kita, maka kita pun
mengannggapnya menyukai kita. Pada akhirnya kesalahpaham itu membuat hati kita
terluka. Akupun memutuskan bahwa akan mencintai seseorang yang mencintai
diriku. Tetapi sepertinya hati yang beku itu perlahan-lahan hancur oleh
kehangatan hati Yuki.
“Hei, Atsuki! Ace kakaknya Luffi
mati bareng Shirohige!”, dengan tiba-tiba Yuki berbicara begitu saat aku sedang
membaca komik One Piece.
“Iya, dan itu sudah sangat
ketinggalan. Aku sedang membaca saat perang Luffy sudah ada di Pulau wanita.
Aku ini otaku One Piece , jadi tidak mungkin aku ketinggalan beritanya”, setelah
berbicara dengan tegasnya, dia pergi dengan wajah datarnya.
Aku benar-benar bingung dengan
tingkahnya itu. Berulang kali dia berperilaku seperti itu saat aku membaca
komik. Tetapi lama-lama aku menyadari bahwa itu caranya mengajakku mengobrol.
Karena ketika aku sudah membaca komik di kelas, itu tandanya aku merasa
terasing karena tidak ada yang mengajakku ngobrol. Yah, Yuki memang sangat baik
dengan caranya sendiri. Bahkan dia sangat baik pada diriku yang antisosial ini.
Bongkahan es yang sedikit retak
ini akhirnya pecah dan menjadi lelehan air karena suatu peristiwa yang selalu
kuingat. Saat itu aku dan Yuki pergi bersama untuk mendaftar masuk Universitas
negeri di daerah Chiba. Yuki bersedia pergi bersamaku karena aku tidak tahu
bagaimana menuju ke sana.
“Atsuki, jangan jauh-jauh
dariku.” dia berkata seperti itu saat kita masuk ke dalam kereta yang menuju
Chiba.
Aku yang terbiasa melakukan
semuanya sendiri benar-benar terkejut. Yuki memperlakukan diriku sebagai
seorang wanita yang patut dilindungi. Yah, saat itupun aku tersadar bahwa aku
mencintainya. Sepanjang hari pikiranku tak bisa tenang, aku merasa berkhianat
terhadap kebijakanku sendiri. Tetapi perlakuan Yuki terhadapku benar-benar
membuat cintai ini semakin meluap.
Aku membuka mata perlahan. Puzzle
yang telah tersusun membuatku bertekat untuk menyatakan cinta. Tidak, tidak,
aku tidak ingin memaksanya untuk mencintai diriku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh
terlalu percaya diri kalau Yuki juga mencintaiku. Aku hanya ingin Yuki tahu
perasaanku. Aku pun berlari sepanjang lorong sekolah mencari Yuki.
“Yuki, Yuki, Yukiiii kau ada di
mana?”, aku berteriak memanggilnya tidak peduli anak-anak lain melihatku. Ah,
itu dia, sedang duduk sendirian di bawah pohon sambil memakan roti.
“Ada apa? Mau roti?” dengan wajah
bodohnya dia menawariku roti.
“Aku hanya mau bilang sesuatu,
yang kalau tidak diutarakan akan membuat kepalaku meledak. Tetapi sebelumnya
kau harus janji, kau tidak akan menjauhiku, tetap bersikap biasa terhadapku,
kalau kau marah bilang saja biar aku bisa minta maaf. OK!?”
“Hah~, baiklah.” menjawab sambil
meremas bungkus roti dan membuangnya ke tong sampah.
“Yuki, aku suka padamu!” aku
berkata sambil tersenyum seperti anak kecil.
“Aku tahu. Kau selalu bilang
seperti itu. Karena aku salju kan. Memangnya, aku menjauhimu selama ini? Aku
sih senang-senang saja kalau ada yang suka dengan namaku. Ayo, masuk kelas. Bel
sudah berbunyi.” dia pun berdiri dan mulai berjalan ke arah kelas.
Bukan, bukan seperti ini
harapanku. Dia salah paham, aku tidak bisa berdiam diri saja.
“Yuki, bukan nama yang ku maksud.
Tapi dirimu, dirimu. Aku suka padamu. Aku tidak meminta dirimu untuk membalas
perasaanku. Aku hanya ingin tahu, apakah kau marah dengan perasaan ku ini? Kau
sudah janji kan!?”
Yuki pun berbalik saat mendengar
pernyataanku, dia pun berjalan mendekatiku.
“Atsuki, kenapa aku harus marah!?
Aku kan sudah bilang, aku sih senang-senang saja kalau ada yang suka padaku,
mau itu nama, tubuh, rambut, atau diriku. Gak enak banget kan kalau ada yang
benci sama kita.” setelah berkata seperti itu dia berjalan kembali menuju
kelas.
Aku tidak mengerti maksud
perkataannya, tetapi yang jelas dia tidak marah padaku. Itu sudah cukup, karena
aku takut rasa cinta ini menjadi sesuatu yang aku sesali. Yah, aku tidak boleh
terburu-buru. Aku pun berjalan menuju kelas. Wajahku menjadi memerah bahagia,
karena dia menungguku di lorong sekolah.
“Jangan suka bengong di sekolah”
katanya tetap dengan wajah datar.
Yuki.....kau memang seperti yuki
di musim dingin.
ada sambungannya DEAR SNOW part II
Kono kata ni mai orite sotto hohoemu
Te de furereba kitto kiete shimau kara
Kono mama de hitori me wo toji anata kanjiru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar